Jumat, 18 November 2011

Bahagia Menjadi Penyeru


“Barang siapa yang enggan berdakwah / menyeru, maka takbirkanlah ia 4 kali ( shalat jenazah ) karena sugnguh ia telah mati sebelum mati" – Imam Asy Syafi’i-

“ Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang meyeru kepada Allah...? ”  firman Tuhan pada surah fushilat ayat ke 33.  Dalam tafsir fi zhilaalil  Qur’an nya, Sayyid Quthb menafsir ayat ini dengan menuliskan “Allah memuliakan para penyeru kebenaran”. Seperti yang pernah saya tulis pada catatan  ini beberapa hari yang lalu, bahwa kemuliaan sebagai seorang penyeru kebenaran. Terpuji dihadapan Allah. Bahkan berdakwah pun bisa dilakukan dengan metode nan sederhana, seperti yang pernah dilakukan oleh  habib An-Najjar yang terkisah di surah yaasiin ayat 20.

“ yaaa qaumittaabi’ul mursaliin, wahai kaumku, ikutilah para utusan-utusan itu.”   ( QS. Yaasiin : 20 )

hanya dengan mengatakan atau menghimbau mengikuti para rasul. Tanpa banyak retorika dan kata, itu telah terkategori sebagai sebuah bentuk dakwah.  Dan Ia pun berhak atas surga. Namun dakwah pun miliki rambu-rambu yang harus diikuti.
Sanjung puji itu akan berubah jadi caci, bila tidak disinergi dengan akhlaq mulia seorang da'i. Dia yang hanya berkata tanpa mampu bekerja, akan dapati cela dan murka Tuhannya. “Wahai orang yang beriman, mengapa engkau lakukan sesuatu yang tidak engkau kerjakan? Itu sangatlah dibenci Allah jika berkata apa-apa yng tidak dikerjakan.” ( QS. ash shaff:1-2 )

Terkadang bila mendengar ayat ini dibacakan.  Bulu kuduk pun berdiri bergidik, seakan kita tidak pantas untuk menjadii penyeru kebenaran dan penerus risalah kenabian. Maka Dakwah pun perlahan ditinggalkan. Dengan alasan masih belum shalih dan sebagainya. Namun coba baca hadits rasulullah berikut ini.

Dari Anas Ibn Malik, “ Rasulullah  bersabda, ‘ Peintahkanlah yang ma’ruf meskipun kamu belum mengamalkannya, dan cegahlah kemungkaran meskipun kamu belum meninggalkan  seluruhnya” (HR. Thabrani, di hasankan oleh imam as suyuthi )

Ada tanggung jawab yang tetap terbebankan untuk disampaikan. Meski mungkin masih belum mampu menjalankan. Ada larangan yang harus kita sampaikan untuk dijauhi, namun ada kalanya kita pun masih berdekat-dekat dengannya. Semoga Allah mengampuni kealphaan kita ini.  Mungkin semua adalah karena manusia tercipta sebagai makhluk yang lemah dan senantiasa berkeluh kesah dan sering kali lalai hingga berbuat salah. Maka Imam Al Hasan Ibn Ali Ibn Abi thalib pun  mengingatkan kepada kita, bahwa “ sesungguhnya Fulan tidak mau memberi nasihat seraya berdalih : ‘Aku takut mengatakan sesuatu yang tiada aku laksanakan’, lalu al- hasan menjawab ‘ siapakah diantara kita yang mampu melaksanakan apa-apa yang yang ia katakan, setan  ingin menguasai orang ini, sehingga tidak ada seorang pun yang akan memerintahkan kebaikan dan mencegah keburukan”

Aslih nafsaka wad’u ghairika, perbaiki diri dan ajak yang lain

“seorang mukmin ialah cermin  bagi mukmin yang lain”  ( HR. Abu Dawud )

Jika kita ingat logika sebuah cermin yang senatiasa memantulkan bayang-bayang yang sama dengan apa yang ada dihadapnya. Maka demikianlah halnya dengan dakwah, ia adalah laksana cermin, seorang yang ingin memperbaiki penampilan pastilah membutuhkan cermin untuk melihat pada bagian mana yang kurang rapi dan kurang enak dipandang mata. Begitulah dengan dakwah, ketika kita ingin meningkatkan kualitas diri kita pastilah butuh sebuah cermin yang mampu menunjukan kekurangan kita untuk kita perbaiki. Dan inilah cermin kita yaitu saudara kita sesama mukmin. Dna metode bercerminnya adalah dengan saling mengingatkan satu sama lain. inilah dakwah.

Dengan saling menasehati dan berbagi ilmu, maka akan timbul sebauha rasa malu di sanubari kita untuk menjalankan apa- apa yang kita katakan. Menjadi malu bila kekata yang kita ucapkan hanya sebatas manis ditelinga tanpa bisa mengendap hati.  ingat kaidah yang disampaikan Hasan Al Bashri  "ma kharaja minnal qalbi mahalluhul qulub wa ma kharaja minnal lisaan mahalluhul adzan, apa yang dikelurakan dari hati maka tempatnya adalah hati, dan apa yang dikeluarkan dari lisan maka hanya berakhir pada telinga. Maka dengan berdakwah atau menyampaikan sebuah ilmu, itu adalah sebuah uji publik terhadap keimanan kita,  agar kita terjaga dari kefasiqan yang mungkin menyergap tanpa sadar. Bukankah semua yang ditimbun itu akan menjadikan keburukkan, termasuk juga menimpun ilmu kebenaran tanpa mendakwahkannya, ia kan menjadi legitimasi perbuatan dosa, mudah mencari alasan pembenaran perbuatan salah karena tidak ada yang mengingatkan, yang kemudian menjadikan fasiq tanpa sadar. Maka kata kuncinya adalah  perbaiki diri dan ajak orang lain juga untuk menjadi lebih baik, ingat proses ini harus berjalan beriringan. Jangan tunggu sholeh dulu untuk berdakwah apalagi tunggu sholmed. :)

Wallahu a'lam bishawab

sumber : [klik disini]

0 komentar:

Posting Komentar